Tiga-per-empat wilayah Maluku Utara adalah laut. Provinsi Kepulauan ini, menyimpan potensi sumber daya alam (SDA) yang luar biasa besarnya, meski belum banyak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Eksploitasi sumber daya hutan, tambang, laut, serta hasil pertanian dan perkebunan selama ini, memang lebih banyak tersedot ke pusat, atau memakmurkan segelintir. Belum lagi kerugian yang diderita akibat praktik pencurian kekayaan laut oleh kapal-kapal penangkap ikan asing.
Pembangunan kelautan dan perikanan dicanangkan demi kemaslahatan orang banyak di masa kini, sambil tetap menyisakan lingkungan yang lestari berikut sumber daya alam kandungannya bagi anak-cucu. Hal ini perlu mengingat sumber daya laut dan pesisir, ada yang dapat diperbaharui seperti perikanan, mangrove, energi gelombang, pasang surut, angin dan Ocean Thermal Energy Convertion (OTEC). Namun, banyak pula yang tidak dapat atau sangat sulit diperbaharui, seperti berbagai jenis mineral hasil pertambangan off shore dan terumbu karang.
Besarnya potensi kelautan dan perikanan di Maluku Utara terlihat dari angka berikut. Konon, laut kawasan yang berbatasan dengan Samudera Pasifik di Utara dan Laut Seram di Selatan ini, menyimpan potensi ikan dan hasil laut seperti tuna, cakalang, kakap, hiu, udang, tiram, teripang dan lainnya sekitar 135 juta ton per tahun, atau kurang lebih 3.32 ton per km. (Hasyim, dalam Kamaluddin et, al., 2000: 93)
Namun, meski berpotensi besar, sektor kelautan dan perikanan Maluku Utara, memiliki sejumlah kendala dan hambatan dalam pengembangan dan pengelolaannya. Secara mikroteknis, keterbatasan infrastruktur, aliran investasi atau modal, rendahnya inovasi teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, menjadi faktor penghambat untuk memanfaatkannya. Sedangkan, kebijakan ekonomi-mikro, politik, hukum nasional, dan kelembagaan yang tidak kondusif bagi pembangunan kelautan dan perikanan, merupakan hambatan makrostruktural. Selama kedua masalah ini belum dapat dipecahkan, potensi yang diibaratkan sebagai “raksasa tidur” itu, hanya menjadi “harta karun” yang mubazir. (bandingkan: Hasan/Ayubar, Kompas 1/4/2002)
Secara umum, sejarah kelautan dan perikanan – seperti halnya sejarah pertanian – ditandai oleh kecenderungan perubahan produksi subsisten untuk keperluan sendiri menjadi produksi untuk pasar. Transformasi tersebut merupakan persyaratan bagi peningkatan produktivitas. Selain memungkinkan pengadaan pangan bagi mayoritas penduduk yang bekerja di sektor lain, hal tersebut juga – dalam perhitungan rata-rata dunia – telah meningkatkan pendapatan mereka yang bekerja di dua sektor ini. Meski, tentu saja, tidak menutup kemungkinan bahwa akibat struktur pasar yang timpang dan diskriminatif serta anjloknya harga di pasar komoditi, membuat petani dan nelayan berorientasi pasar bisa bernasib lebih buruk ketimbang petani subsisten yang lebih tergantung pada kondisi alam.
Meski demikian, sebuah strategi pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan tidak berarti kembali ke kelautan dan perikanan berorientasi subsisten. Yang seharusnya dilakukan adalah mempengaruhi proses di mana tiga dimensi – masing-masing ketahanan pangan, pengamanan pendapatan dan pembangunan berkelanjutan – yang dalam penerapannya seringkali mempunyai tujuan yang saling bertentangan (Zielkonflikte), agar bersinergi satu dengan lainnya. Bagi sektor kelautan dan perikanan, secara bertahap harus diadakan optimalisasi penangkapan ikan sambil menjaga kelestarian laut Maluku Utara. Artinya, selain peningkatan fishing effort (upaya tangkap) dan intensitas penangkapan (jumlah nelayan dan jumlah kapal ikan, termasuk pembangunan galangan kapal ikan), harus pula dilakukan semacam pemetaan daerah mana saja yang telah overfishing dan perlu di”istirahat”kan dan mana saja yang belum dan karena itu perlu dimanfaatkan secara optimal.
Untuk meningkatkan mutu dan nilai produk pascapanen, perlu dilakukan penyempurnaan dan tekonologi menyangkut teknologi pengemasan produk dan transportasi “life fish”. Tentu ini membawa sejumlah implikasi khusus yang terkait dengan akses terhadap modal dan teknologi penangkapan, termasuk didalamnya system informasi data satelit dan model hidrodinamika dalam penentuan fishing ground. (Dahuri, Kompas, 22/3/2002)
Semakin tergantungnya nelayan pada penghasilan (uang) untuk memenuhi kebutuhan pokok, berarti bahwa standar hidup nelayan kecil pun, semakin tergantung pada produksi untuk pasar, dan tidak cukup dengan cara subsisten. Hal yang mirip berlaku pula dalam hubungan produksi untuk pasar nasional dan global. Ekspor pada prinsipnya merupakan persyaratan bagi pendanaan komoditas impor yang dibutuhkan. Dengan demikian, produksi berorientasi ekspor akan bermakna bila mendatangkan penghasilan yang lebih tinggi dan stabil dibandingkan produksi berorientasi pasar dalam negeri.
Secara umum, yang menghadapi kesulitan dalam pengamanan pangan adalah para nelayan gurem. Hal ini juga disebabkan oleh urban bias dalam kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan atau mengacu pada kepentingan orang kota. Selain, tentu saja, akibat adanya proteksionisme agraria lewat dumping harga atas produk pertanian negara-negara industri.
Salah satu factor penting dalam pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan berkaitan dengan terumbu karang dan mangrove (hutan bakau). Terumbu karang Indonesia yang luasnya 60.000-86.000 kilometer persegi adalah sama dengan seperdelapan luas terumbu karang dunia. Sayangnya, nasib terumbu karang tak seindah bentuknya. Buktinya, hasil penelitian tahun 2001 oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan mencatat setidaknya 70 persen terumbu karang di perairan Indonesia dalam keadaan rusak parah. Akibatnya, Indonesia menderita kerugian sekitar dua juta ton ikan per tahun. Kerugian juga dirasakan oleh nelayan tradisional yang umumnya tidak melaut melebihi 12 mil dari tepi pantai. Dari waktu ke waktu, hasil tangkapan nelayan terus merosot, mengakibatkan ongkos melaut lebih besar dibandingkan hasil penjualan ikan. (Sinar Harapan, 12/4/2002, hal. 12)
Hal yang mirip berlaku pula pada hutan mangrove yang dianggap sarang nyamuk dan hanya berguna sebagai kayu bakar. Padahal, akar-akar napas mangrove dapat menstabilkan pantai dengan menangkap berbagai bahan baik dari darat maupun dari laut sehingga menjadi ekosistem yang sangat subur. Berbagai organisme pun dari jasad renik hingga yang besar-besar berkumpul di hutan mangrove ini sebagai mata rantai kehidupan. Saat ini Indonesia adalah negara dengan hutan mangrove terbesar di dunia, yaitu seluas 3,5 juta hektar dari total 15 juta hektar hutan mangrove dunia. Sayangnya, proses perusakan hutan mangrove di Indonesia yang menjadi tempat menyimpan larva (benih) atau bahkan sebagai habitat ikan, udang dan kepiting dalam beberapa tahun terakhir ini, berlangsung sangat cepat. (Alikodra, Kompas, 18/4/2002) Kerugian yang diderita akan sangat dirasakan oleh generasi mendatang.
Pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan mensyaratkan pembalikan resep-resep standar selama ini, baik itu berupa kebijakan modernisasi lewat program “Revolusi Biru”, maupun usulan alternatif seperti cara berproduksi subsisten, kebijakan swasembada pangan serta kampanye anti ekspor. Selain itu, perlu optimalisasi penyesuaian pada ekologi (lokal), serta persyaratan ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan, yang lebih penting adalah penghasilan yang diperoleh nelayan serta kestabilan dan distribusi produknya, dibandingkan apa jenis produk yang (harus) dihasilkan.
Dikaitkan dengan lemahnya ekonomi dan kehidupan rumah tangga nelayan, persiapan ke depan harus mencakup upaya memberdayakan nelayan. Ada paradigma yang sengaja dibangun di masa lalu yang mengatakan, amat sulit bahkan tidak mungkin nelayan bebas kemiskinan karena kulturnya tidak mendukung. Kenyataan di mancanegara, menunjukkan banyak contoh yang merupakan pembalikan paradigma tersebut. Tentu saja, dalam kondisi saat ini, dibutuhkan program pemihakan sehingga gap antara nelayan kecil dan para “bandar” ikan dan pengusaha bisa diperkecil.
Kelautan dan perikanan berkelanjutan, sangat tergantung pada pembangunan struktur pedesaan, terutama desa pesisir, yang terintegrasi secara regional dan nasional. Dalam kaitan ini, beberapa bidang berikut berperan menentukan. Pertama, struktur pemilikan dan penghasilan yang berperan dalam pendistribusian pendapatan. Kedua, struktur kelembagaan yang mengamankan dan boleh jadi merupakan persyaratan bagi proses pemerataan yang menguntungkan nelayan tradisional bermodal kecil, seperti pemasaran dan akses kredit, konseling kelautan dan perikanan dan peningkatan posisi tawar-menawar secara politis. Ketiga, infrastruktur material dan sosial seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi. Terakhir, perbaikan struktur ekonomi terutama berkaitan dengan bidang KP serta ketersediaan lapangan kerja di luar sektor kelautan dan perikanan.
Bagi pembangunan pedesaan (pesisir), berlaku pula tuntutan berikut: “Harga harus mengatakan kebenaran”, artinya secara implisit harga jual mengandung harga sosial dan ekologi yang diakibatkan oleh penggunaan sebuah produk. Di Eropa, tuntutan ini misalnya, berhasil menelorkan apa yang disebut Pajak-C02. Sektor kelautan tidak boleh hanya dipandang dari sudut hubungan antara nelayan dan laut, tetapi dalam keterkaitan struktural pembangunan pedesaan yang, tentu saja, juga tergantung pada perkembangan nasional maupun global. Untuk itu, penghasilan nelayan harus menjadi ukuran situasi ekonomi penduduk pedesaan. Selain itu, pemberlakuan kebijakan KP berkelanjutan mensyaratkan transformasi sosio-kultural, berupa pengembangan kearifan tradisional, pembaruan pemahaman tentang pembangunan serta penilaian baru tentang kondisi dan persyaratan (ketahanan) alam.
wahh artikel ini sangat membantu dan bermanfaat bagi saya,
BalasHapus